Minggu, 30 September 2012

Fatwa MUI tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA


Kami sengaja menampilkan fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA karena ternyata banyak masyarakat yang belum tahu adanya fatwa tersebut. Padahal fatwa tersebut sudah dikeluarkan sejak tahun 2005 lalu.
Paham Pluralisme agama, khususnya, sangat membahayakan aqidah umat sehingga bisa menyebabkan mereka kufur terhadap kebenaran agama yang dipeluknya.
Kalau diibaratkan penyakit, paham Pluralisme Agama seperti virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan rusaknya/melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga rentan terhadap penyakit. Makin lama penderita virus ini makin banyak, dan semakin banyak pula yang meninggal karenanya. Begitu juga paham Pluralisme Agama yang sedang dikembangkan di Indonesia, akan memperlemah keyakinan  pemeluknya akan kebenaran agamanya. Semakin hari semakin banyak pemeluk agama yang terjangkiti olehnya, dan semakin banyak pula yang akan gugur agamanya.
Paham Pluralisme Agama ini semakin ngetrend setelah wafatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendapat pujian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai "Bapak Pluralisme". Pujian SBY ini disampaikan sebagai ucapan kata terakhir untuk Gus Dur saat menyampaikan pidato prosesi pemakaman Gus Dur.
"Selamat jalan Bapak Pluralisme. Semoga tenang di sisi Allah SWT," kata SBY dalam pidatonya di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Rabu (31/12/2009).
Menanggapi pujian ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun mengaku bangga dengan sebutan ini. Bahkan menurut Ketua Dewan Tanfidz DPP PKB, Muhaimin Iskandar di Jakarta, PKB merasa terhormat, presiden memberikan gelar bapak pluralisme.
Bahkan Cak Imim (panggilan akrab Muhaimin Iskandar) menyatakan, menjadi tanggung jawab PKB untuk meneruskan gelar pluralisme ini. "Kita akan lanjutkan sekuat tenaga," jelasnya.
Berbeda dengan PKB, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur dengan tegas menolak gelar "Bapak Pluralisme" untuk Gus Dur oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kami tidak sependapat jika Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme seperti diungkapkan Presiden di Jombang beberapa waktu lalu karena dapat menimbulkan konflik agama," kata Ketua MUI Jatim K.H. Abdusshomad Buchori di Surabaya, Rabu (13 Januari 2010).
Kiai Buchori menilai, pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama sehingga sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia.
Beberapa tahun sebelum wafatnya Gus Dur, gagasan menyematkan gelar sebagai Bapak Pluralisme sudah pernah diwacanakan. Pada tahun 2006, tepatnya tanggal 21 September, di Hotel Aryaduta dalam acara peluncuran buku ‘Islamku,  Islam Anda,  Islam Kita’  karya Gus Dur, Syafi’i Anwar mengatakan bahwa Gus Dur adalah bapak pluralisme Indonesia. Wimar Witoelar menambahkan bahwa beliau sebetulnya juga adalah bapak plularisme dunia, mengingat bahwa dunia kini kekurangan tokoh pluralisme dan bahkan didominasi oleh pemimpin eksklusif dari semua pihak.
Berikut ini Keputusan Fatwa MUI Tentang Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme Agama:


 ________________________________________
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONEISA
Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1246 H. / 26-29 Juli 2005 M.;


MENIMBANG :
a.    Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
b.    Bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta dikalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan Fatwa tentang masalah tersebut;
c.    Bahwa karena itu, MUI memandang perlu menetapkan Fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk di jadikan pedoman oleh umat Islam.

MENGINGAT :
1.    Firman Allah :
"Barang siapa mencari agama selaian agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi…" (QS. Ali Imaran [3]: 85)
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…" (QS. Ali Imran [3]: 19)
"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. al-Kafirun [109] : 6).
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. al-Azhab [33:36).
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash [28]: 77).
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (terhadap Allah). (QS. al-An’am [6]: 116).
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q. al-Mu’minun [23]: 71).

2.    Hadis Nabi SAW :
a.    Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW : “Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim).
b.    Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).
c.    Nabi saw melakukan pergaulan social secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

MEMPERHATIKAN : Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII VII MUI 2005.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PLURALISME AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan
1.    Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
2.    Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3.    Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
4.    Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Kedua : Ketentuan Hukum
1.    Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
2.    Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
3.    Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4.    Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 22 Jumadil Akhir 1426 H.
29 Juli 2005 M.

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua,      
 (K.H. MA’RUF AMIN )

Baca Selengkapnya - Fatwa MUI tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

Sabtu, 29 September 2012

Pluralisme

Hakikat Pluralisme
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan “klaim kebenaran” (truth claim) yang dianggap menjadi pemacu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatas namakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.
Hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Dari ide ini kemudian muncul gagasan lain yang menjadi ikutannya seperti dialog lintas agama, doa bersama dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sebenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama, bahkan mendirikan agama baru.
Di Balik Gagasan Pluralisme
Lahirnya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguhnya didasarkan pada sejurnlah faktor. Dua di antaranya adalah: Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Masing masing pemeluk agama juga meyakini bahwa rnerekalah umat pilihan. Menurut kaum pluralis, keyakinan-keyakinah inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan, perpecahan bahkan konplik antar pemeluk agama. Karena itu, menurut mereka, diperlkan gagsan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif dan berpotensi memicu konflik.
Kedua , faktor kepentingan ideologis dan KapitaIisme untuk meIanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
Karena itu,   jika ditinjau dari aspek sejarah, factor pertama bolehlah  diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralismeagama. Namun selanjutnya, faktor dominant yang memicu maraknya isu  pluralisme agama adalah niat Barat untuk makin mengokohkan  dominasi Kapitalismenya,  khususnya atas Dunia Islam.
Konflik Sebagaii Alasan?
Memang benar, dunia saat ini sarat dengan konflik. Namun, tidak benar jika seluruh konflik yang terjadi saat ini dipicu oleh faktor agama. Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering berlatar belakang ideology dan politik. Dalam sekala internasional, konflik Palestine-Israel lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik antar agama (Islam, Yahudi dan Kristen). Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalarn naungan Khilafah Islam. Konflik Palestine-Israel ini lebih bernuansa politik yang melibatkan penjajah barat Sejarah membuktikan, konplik Palestine-lsrae, bernula ketika bangsa Yahudi (Israel) sengaja ditanamoleh penjajah inggris di jantung Palestina dalam ranka melemahkan umat Islam. Konflik ini kernudian dipelihara oleh Amerika Serikat yang menggantikan peran Inggris, untuk semakin melemahkan kekuatan umat Islam, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya, dengan begitu Barat dapat terusmenerus menyibukkan umat Islam dengan konflik tersebut sehingga umat Islam melupakan bahaya dominasi Barat khususnya   AS dan Inggris sebagai penjajah mereka.
Dalam sekala local, konflik yang pernah terjadi di Maluku atau Poso beberapa tahun lalu, mislanya, juga lebih bernuansa politik, yakni adanya campur tangan asing (yang tidak lain kaum penjajah barat untuk melemahkan Indonesia yang berpenduduk moyoritass muslim, ketinmbang berlatar belakang agama.
Sementara itu dalam sekala yang lebih luas dan global, konflik Barat-Timur (yang sering dianggap mencerminkan konflik Kristen islam) khususnya setelah peristiwa 11 september 2001, juga jelas lebih berlatar belakang ideology dan politik ketimbang agama. Memang, sesaat setelah terjadinya peristiwa 11 september, Presiden AS George W bush pernah “keseleo” dengan menyebut secara jelas bahwa Wot (War on Terrorism) sebagai Crussade (Perang Salip) baru. Lalu setelah itu AS menyerang afganitan , dan kemudian dilanjutkan dengan menyerang Irak. Namun banyak pakar barat dan AS sendiri yang menjelaskan bahwa serangan militer AS sendiri yang menjelaskan bahwa serangan militer AS ke Afganistan maupun Irak bahkan lebih bermotif ekonomi (yakni demi minyak)-di samping politik (demi dominasi ideology Kapitalisme), dan bukan bermotif agama.
Karena itu, sangat tidak nyambung jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut kemudian dipasarkan terus gagasan pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama dll. Pasalnya, akar konflikikonflik tersebut, sekali lagi, lebih bermotifkan ideology dan politik yakni dominasi Kapitalisme yang diusung Barat, khususnya AS   atas Dunia  Islam   ketimbang berlatar-belakang agama.
Plurallisme Menurut Islam
Allah SWT berfirman:
يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَـكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَـرَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللَّهِ أَتْقَـكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan, kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bargsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah "(QS al-Hujurat : 13).
Ayat ini menerangkan bahwa Islam mengakui keberadaan dan keragaman  suku dan bangsa serta identitas-identitas agama selain Islam (pluralitas),   namun sama sekali tidak mengakui kebenaran    agama-agama tersebut (pluralisme). Allah
SWT juga berfirman:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ  وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
"Mereka   menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah. Mereka tidak           memiliki ilmu  dan tidaklah orang-orang zolim itu mempunyai pembela" (QS al-Hajj:71).
Ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah      kepada selain Allah SWT.     Lalu bagaimana bisa mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Dalam ayat vang lain, Allah SWT menegaskan.
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
"Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam "(QS Ali 1mran [3]: 19).
Allah SWT pun menolak siapa saja yang memeluk agama selain Islam (QS Ali Imran [31: 8S)  menolak klaim  kebenaran semua agarna selain Islam, baik Yahudi dan Nasrani, ataupun agama-agama lainnya (QS at-Taubah [9]: 30, 31); serta memandang mereka sebagai orang-orang kafir (QS al-Majdah[5] 72).
Karena itu, yang perlu dilakukan umat Islam sesungguhnya bukan menyerukan pluralism agama apalagi dialog antaragama untuk mencari titik temu dan kesamaan. Masalahnya mana mungkin Islam yang mengajarkan tauhid (QS 5:73-77 ; QS 19:88-99; QS 112:1-4) disamakan dengan kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair juga sebagai anak Tuhan?! Apalagi Islam disamakan dengan agama-agama lain? Benar, bahwa eksistensi agama-agama tersebut diakui, tetapi tidak berarti dianggap benar. Artinya, mereka dibiarkan hidup dan memeluk bebas beribadah, makan, berpakaian dan menikah dengan tatacara agama mereka. Tetapi, tidak berarti diakui benar.
Karena itu, yang wajib dilakukan umat islam tidak lain adalah terus-menerus menyeru pada pemeluk agama lain untuk memeluk islamdan hidup di bawah naungan islam. Meski dengan catatan tidak boleh ada pemaksaan.
Bahaya di   Balik Gagasan Pluralisme
Bahaya pertama adalah penghapusan identitas-identitas agama. Dalarn kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Arribil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghaiang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah public yang   secular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam Negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Bahaya lain pluralisme agama adalah munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran  di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden,   al- Qiyadah al- Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq,     dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alas an pluralisme Pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut,     meski itu berarti penodaan terhadap Islam. Karena itu, wajar jika KH Khalil Ahmad, Pengasuh Pondok   Pesantren Gunung Jati Pamekasan Jawa Timur, menilai pluralisme agama yang diusung Gus Dur berbahaya bagi umat Islam (Tempointeraktif,com,30/12/2009)
Bahaya lainnya, pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu globalisasi- Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan nilai Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan “agama baru” yang bernama pluralisme agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap   menerima Kapitalisme itu sendiri.
Inilah di antara bahaya yang terjadi, yang sesungguhnya telah dan sedang mengancam kaum MUSLIM saat ini, ketika kaum Muslim kehilangan Khilafah Islamiyah sejak hampir satu abad IaIu. Padahal Khilafahlah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam, melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk  oleh pluralisme.





Baca Selengkapnya - Pluralisme

Sabtu, 22 September 2012

Sharia Business Process vs Conventional Business Proces

Pada proses bisnis terdiri serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam koordinasi lingkungan organisasi dan teknis untuk mewujudkan tujuan bisnis. Sedangkan pada proses bisnis tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu proses bisnis syariah dan proses bisnis konvensional (non-syariah).
Bisnis Islami (syariah) yang dikendalikan oleh aturan halal dan haram , baik dari cara perolehan maupun pemanfaatan harta, sama sekali berbeda dengan bisnis non islami (konvensional). Dengan landasan skularisme yang bersendikan pada nilai-nilai material, bisnis non islami tidak memperhatikan aturan halal dan haram dalam setiap perencanaan, pelaksanaan, dan segala usaha yang dilakukan dalam meraih tujuan-tujuan bisnis.Dari asas sekularisme inilah, seluruh bangunan karakter bisnisnonislami diarahkan pada hal-hal yang bersifat bendawi dan menafikan nilai ruhiah serta keterikatan pelaku bisnis pada aturan yang lahir dari nilai-nilai transcendental (aturan halal-haram). Kalaupun ada aturan, semata bersifat etik yang tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
Sementara, bisnis berkonsep syariah terikat oleh moral dan etika. Islam mempersilahkan  berdagang dan mencari keuntungan, tapi jangan rugikan orang lain, pelihara lingkungan, jauhkan spekulasi, riba, dan berbisnislah dengan barang dan jasa yang diperbolehkan oleh Syariah.
Etika adalah basis dari segala aktivitas bisnis syariah. Berbisnis tidak berarti menghalalkan segala cara. Aktivitas perdagangan yang merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang penting, tidak berarti mengabaikan aspek-aspek lainnya. Islam membangun keterpaduan dan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi (surat Alqashash:77) materiil dan spritual, antara kepentingan individu dan kepentingan bersama.
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga"  (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak  harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika  oreientasi bisnis dan upaya investasi  akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat.Di dalam Alqur’an dan hadist Islam telah mengatur secara sempurna bagaimana prinsip maupun etika dalam proses berbisnis. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip yang wajib dimiliki oleh pelaku bisnis yang sesuai dengan syariat Islam:
·         Jujur, amanah, tepat janji
Rasul SAW telah menggariskan tiga sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap pebisnis, yaitu jujur, amanah dan tepat janji. Ini sangat penting mengingat ketiga sifat inilah yang umumnya sulit dimiliki oleh pebisnis, apalagi di tengah kondisi seperti sekarang, dimana ketidakjujuran ada dimana-mana. Kepada mereka yang memiliki sifat ini, Rasul SAW menjanjikan bahwa mereka kelak akan bersama dengan para Nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada di surga (HR Tirmidzi).“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang/pebisnis yang apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan (HR Baihaqi)”
·         Tidak ada unsur-unsur kezaliman
Kedzaliman yang dimaksud disini ialah riba. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’. Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah
Persoalan riba menjadi perhatian Islam. Banyak sekali ayat-ayat yang mengharamkan praktik riba. Allah berfirman, yang artinya, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Dalam ayat yang lain, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Q.S. Ali Imran: 130). Bukan hanya itu saja, Allah bahkan sangat membenci pelaku riba. Sampai-sampai Allah akan memerangi para pelakunya, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Q.S. Al-Baqarah: 279).
Islam memandang bahwa riba adalah bentuk kezaliman kepada customer. Mungkin orang mengira bahwa bunga yang disyaratkan tidaklah memberatkan. Padahal, kalau diteliti secara mendalam (makro) dampak yang ditimbulkannya begitu hebat.
Bahkan, negara sekali pun bisa tergadai oleh riba yang diberikan oleh lembaga-lembaga bank dunia. Yang untung adalah para pemilik modal, sementara peminjam diberatkan oleh setoran bunga yang makin lama semakin menumpuk.
Kalau begitu, dari mana keuntungan lembaga keuangan? Dalam hal ini, bisnis syariah dengan lembaga keuangannya menawarkan konsep bagi-hasil. Konsep bagi-hasil menempatkan kedua pihak sama-sama bertanggung jawab atas kegiatan bisnis yang mereka lakukan. Besarnya keuntungan dan kerugian sama-sama dipikul.
·         Halal
Kehalalan produk dalam bisnis syariah sangat diperhatikan sekali. Kehalalan itu mengacu pada hukum Islam. Minuman keras, makanan mengandung lemak babi dan zat berbahaya, narkoba, atau jasa pengiriman barang yang diharamkan tidak boleh dipraktikkan dalam bisnis syariah.
"Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung." Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai, mengingat lemak bangkai itu dipakai untuk menambal perahu, meminyaki kulit, dan dijadikan minyak untuk penerangan?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak boleh! Jual beli lemak bangkai itu haram." Kemudian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semoga Allah melaknat Yahudi. Sesungguhnya, tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjual minyak dari lemak bangkai tersebut, kemudian mereka memakan hasil penjualannya." (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim, no. 4132)
Dalam bisnis keuangan syariah juga tidak membenarkan investasi bisnis yang dilarang Islam, seperti perjudian, pembangunan kawasan prostitusi, maupun pembangunan tempat-tempat maksiat lainnya. Dengan begitu, uang masyarakat yang disimpan di lembaga keuangan syariah tidak dipakai untuk hal-hal yang merusakkan moral bangsa.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,(Q.S. Albaqarah:219)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam proses bisnis syariah mengedepankan ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidak adilan sehingga dalam proses bisnis syariah tidak ada pihak yag dirugikan atau sama-sama untung. Berbeda dengan konsep bisnis konvensional yang hanya mengutamakan untuk mendapat profit yang sebesar mungkin tanpa melihat halal-haram, adil atau tidak.
Karateristik bisnis Islami vsnonislami menurut Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad karebet widjajakusuma dalam buku “Menggagas Bisnis Islam” yaitu :
Islami
Karateristik bisnis
Nonislami
Aqidah Islam (nilai-nilai transcendental)
ASAS
Sekularisme (nilai-nilai material)
Dunia-akhirat
MOTIVASI
Dunia
Profit dan Benefit (non materi), pertumbuhan, keberlagsungan, keberkahan
ORIENTASI
Profit, Pertumbuhan, Keberlangsungan
Tinggi, Bisnis adalah bagian dari ibadah
ETOS KERJA
Tinggi, bisnis adalah kebutuhan duniawi
Maju & produktif, konsekuensi, keimanan dan manifestasi kemusliman
SIKAP MENTAL
Maju & produktif sekaligus konsumtif, konsekkuensi, aktualisasi diri
Ckap &ahli dibidangnya, konsekuensi dari kewajiban seorang muslim
KEAHLIAN
Cakap & ahli dibidangnya, konskuensi dari motivasi reward & punishment
Terpercaya & bertanggung jawab, tujuan tidak menghalalkan cara
AMANAH
Tergantung kemauan individu (pemilik capital), tujuan menghalalkan cara
Halal
MODAL
Halal & haram
Sesuai dengan akad kerjanya
SDM
Sesuai dengan akad kerjanya atau sesuai keinginan pemilik modal
Halal
SUMBER DAYA
Halal & Haram
Visi dan misi organisasi terkait erat dengan misi penciptaan manusia di dunia
MANAGEMEN STRATEGIK
Visi dan misi organisasi ditetapkan berdasarkan pada kepentingan material.
Jaminan halal bagi setiap masukan, proses & keluaran, mengedepankan produktivitas dalam koridor syariah
MAJAJEMEN OPERASI
Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses & keluaran, mengedepankan produktivitas dalam koridor manfaat
Pemasaran dalam koridor jaminan halal
MANAJEMEN PEMASARAN
Pemasaran menghalalkan cara
SDM professional & berkepribadian Islam, SDM adalah pengelola bisnis, SDM bertanggung jawab pada diri, majikan & Allah SWT
MANAJEMEN SDM
SDM professional, SDM adalah factor produksi, SDM bertanggung jawab pada diri & majikan


sumber :
Alqur’an
Hadist
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjajakusuma.2002.”Menggagas Bisnis Islami. Jakarta:Gema Insani Press
jurnal Dr. Irfan Syauqi Beik, Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB " Tiga Prinsip Berbisnis Sesuai Syariah"
DR. Achmad Kholiq, “Etika Bisnis dalam Perpektif Islam

Baca Selengkapnya - Sharia Business Process vs Conventional Business Proces

Sabtu, 15 September 2012

Business Process

Definition Of Business Process
A business process consists of a set of activities that are performed in coordination in an organizational and technical environment. These activities jointly realize a business goal. Each business process is enacted by a single organization, but it may interact with business processes performed by other organizations.
After a first consideration of business processes, their constituents, and their interactions, the view is broadened. Business process management not only covers the representation of business processes, but also additional activities.
Business process management includes concepts, methods, and techniques to support the design, administration, configuration, enactment, and analysis of business processes.
Traditionally, business processes are enacted manually, guided by the of the company’s personnel and assisted by the organizational regulations and procedures that are installed.
Enterprises can achieve additional benefits if they use software systems for coordinating the activities involved in business processes. These software systems are called business process management systems.
A business process management system is a generic software system that is driven by explicit process representations to coordinate the enactment of business processes.

Classification of Business Processes
Ø  Organizational versus Operational

Different levels can be identified in business process management, ranging from high-level business strategies to implemented business processes. These levels are depicted in Figure 1.6.

At the highest level, the strategy of the company is specified, which describes its long-term concepts to develop a sustainable competitive advantage in the market. An example of a business strategy is cost leadership for products in a certain domain.
At the second level, the business strategy is broken down to operational goals. These goals can be organized, so that each goal can be divided into a set of subgoals. Reducing the cost for supplied materials is a sample goal that contributes to the realization of the business strategy mentioned.
At the third level, organizational business processes can be found. Organizational business processes are high-level processes that are typically specified in textual form by their inputs, their outputs, their expected results, and their dependencies on other organizational business processes. These business processes act as supplier or consumer processes. An organizational business process to manage incoming raw materials provided by a set of suppliers is an example of an organizational business process.
Informal and semiformal techniques are used at these high levels. The strategy of a company, its goals, and its organizational business processes can be described in plain text, enriched with diagrams expressed in an adhoc or semiformal notation. A forms-based approach to express organizational business processes is discussed in the next chapter.
While organizational business processes characterize coarse-grained business functionality, typically there are multiple operational business processes required that contribute to one organizational business process. In operational business processes, the activities and their relationships are specified, but implementation aspects of the business process are disregarded. Operational business processes are specified by business process models.
Operational business processes are the basis for developing implemented business processes. Implemented business processes contain information on the execution of the process activities and the technical and organizational environment in which they will be executed.

Ø  Intraorganizational Processes versus Process Choreographies
As defined above, each business process is performed by a single organization. If there is no interaction with business processes performed by other parties, then the business process is called intraorganizational. Most business processes, however, interact with business processes in other organizations, forming process choreographies.
The primary focus of intraorganizational business processes is the streamlining of the internal processes by eliminating activities that do not provide value. The personnel of the enterprise is represented in organizational models used to allocate activities to persons who are skilled and competent to perform these activities. Traditional workflow management systems can be used to support intraorganizational business processes.
There are a number of issues to address when dealing with interacting business processes, including not only communication aspects related to the process structures, but also legal matters. Interactions between business processes need to be protected by legally binding contracts between the companies involved.
Also, the technical layer requires more thought, since multiple organizations have most likely a heterogeneous software infrastructure that hampers interoperability in the software layer.

Ø  Degree of Automation

Business processes can diverge in the level of automation. There are business processes that are fully automated, meaning that no human is involved in the enactment of such a business process. An example is ordering an airline ticket using Web interfaces. While the process is fully automated on the side of the airline, the customer is involved with manual activities, such as providing address information via Web browser interfaces.
Enterprise application integration is another area where automated business processes can be found. The goal is to integrate the functionality provided by a heterogeneous software landscape. While there are different techniques to integrate enterprise applications, process technology is an important technology, especially since the emergence of service-oriented software architectures that allow composing services to processes.
Many business processes require manual activities; but they also include automated activities. Processing an insurance claim is an example of such a process. Manual activities enter the customer data and determine the settlement of the damage, while automated activities are used to store data on the damage in the software systems of the company.
The interaction with the human user is essential in these settings. Early approaches that prescribe to human users “what to do next” often failed. User interfaces that accept the knowledge worker as an important source to improve and control the process provide more user acceptance.

Ø  Degree of Repetition

Business processes can be classified according to their degree of repetition. Examples of highly repetitive business processes include business processes without human involvement, such as online airline ticketing. However, business processes in which humans are involved can occur frequently, for example, insurance claim processing. If the degree of repetition is high, then investments  in modelling and supporting the automatic enactment of these processes pay off, because many process instances can benefit from these investments.
At the other end of the repetition continuum, there are business processes that occur a few times only. Examples include large engineering efforts, such as designing a vessel. For these processes it is questionable whether the effort introduced by process modelling does in fact pay off, because the cost of process modelling per process instance is very high.
Since improving the collaboration between the persons involved is at the centre of attention, these processes are called collaborative business processes. In collaborative business processes, the goal of process modelling and enactment is not only efficiency, but also tracing exactly what has actually been done and which causal relationships between project tasks have occurred.
This aspect is also present in the management of scientific experiments, where data lineage is an important goal of process support. Since each experiment consists of a set of activities, an increasing fraction of the experimentation is performed by analyzing data using software systems. The data is transformed in a series of steps. Since experiments need to be repeatable, it is essential that the relationship of the data sets be documented properly.
Business processes with a low degree of repetition are often not fully automated and have a collaborative character, so that the effort in providingautomated solutions is not required, which lowers the cost.

Ø  Degree of Structuring

If the business process model prescribes the activities and their execution constraints in a complete fashion, then the process is structured. The different options for decisions that will be made during the enactment of the process have been defined at design time. For instance, a credit request process might use a threshold amount to decide whether a simple or a complex credit check is required, for instance, 5000 euros. Each process instance then uses the requested amount to decide on the branch to take.
Leymann and Roller have organized business processes according to dimensions structure and repetition. They coined the term production workflow. Production workflows are well structured and highly repetitive. Traditional workflow management system functionality is well suited to supporting production workflows.
If process participants who have the experience and competence to decide on their working procedures perform business process activities, structured processes are more of an obstacle than an asset. Skipping certain process activities the knowledge worker does not require or executing steps concurrently that are ordered sequentially in the process model is not possible in structured business processes.
To better support knowledge workers, business process models can define processes in a less rigid manner, so that activities can be executed in any order or even multiple times until the knowledge worker decides that the goals of these activities have been reached. So called ad hoc activities are an important concept for supporting unstructured parts of processes.
Case handling is an approach that supports knowledge workers performing business processes with a low level of structuring and, consequently, a high level of flexibility. Rather than prescribing control flow constraints between process activities, fine-grained data dependencies are used to control the enactment of the business process.
________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sebuah proses bisnis terdiri dari serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam koordinasi dalam lingkungan organisasi dan teknis untuk mewujudkan tujuan bisnis. 
Allah Subhanallahuta'ala juga telah menjelaskan melalui Alqur'anul karim bagaimana bisnis itu harus dijalankan. Berikut ini ialah salah satu  ayat Alqur'an tentang bisnis :
1. Albaqarah ayat 283


"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang di antara kamumenuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlahdia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika orang yang berutang itu orang kurang akalnya ataulemah (keadaanya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinyamendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antarakamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang  perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika ada yang  seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik utang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dekat menguatkankesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jikakamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulisdipersulit dari begitu juga saksi. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu suatukefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu,dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu"


Menurut Tafsir Ibnu Katsir :

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ "Jika kamu dalam perjalanan" yakni sedang dalam perjalanan dan terjadi hutang - piutang sampai batas waktu tertentu.

 وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً "sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,"yaitu seorang penulis yang menulis transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengartikan, ada penulis tapi tidak ada pena,kertas dan tinta, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya penulisan itu diganti dengan barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman.

 فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ "maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)", ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang harus dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafi'i dan jumhur Ulama dan ulama yang lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil  bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai. Ini merupakan riwayat dari Imam Ahmad dan sebagian ulama juga demikian.

 وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ  "Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; "yaitu orang yang jahat hatinya. Ini juga dituangkan Allah dalam Surat Al Maidah ayat 106 dan AnNissa ayat 135.

QS. 5 ayat 106 : وَلاَ نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللّهِ إِنَّا إِذاً لَّمِنَ الآثِمِينَ  dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

QS.4 ayat 135 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ إِن يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقَيراً فَاللّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلاَ تَتَّبِعُواْ الْهَوَى أَن تَعْدِلُواْ وَإِن تَلْوُواْ أَوْ تُعْرِضُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً  

4.135. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Demikian juga Allah dalam surat Al Baqarah ayat 283 ini :

 وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2. An-Nisa ayat 29

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antarakamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu"

reference : 
Alqur'an.
Weske, Mathias. 2007. "Business Process Management Concepts, Languages, Architectures". Potsdam 
Tafsir Ibnu Katsir.
Baca Selengkapnya - Business Process